Rabu, 17 Agustus 2011

Riwu Ga "Sang Terompet" Kemerdekaan Proklamasi RI

Riwu Ga, Sukarno dan Proklamasi 1945
Siapa yang kenal almarhum Riwu Ga? Mungkin ada, tapi sangat sedikit. Padahal, orang Nusatenggara Timur (NTT) asal Pulau Sabu ini telah menunjukkan dedikasi yang luar biasa untuk Republik ini. Semua warga yang tinggal di NTT harus mengenalnya dalam nuansa Hari Kemerdekaan 17 agustus ini dan merasa bangga dengan beliau. Ternyata, orang kecil macam Riwu Ga punya kontribusi besar untuk Indonesia.
Pada tahun 1934 saat Bung Karno baru saja sampai di tempat pembuangannya di Ende, Flores. Ada seorang muda yang senang melihat kedatangan orang buangan dari Jawa. Anak berumur 14 tahun itu bernama Riwu Ga. Ia setiap pagi berjalan 3 kilometer untuk menonton orang dari Jawa yang katanya terkenal. Suatu siang saat Bung Karno sedang mengerjakan potongan kayu untuk ganjel pintu, Riwu Ga datang membawa pisang dan bertanya-tanya pada Sukarno tentang caranya membuat potongan kayu. Sukarno adalah seorang Insinyur, tapi ia selalu bicara dengan bahasa yang dimengerti lawan bicara dan Sukarno senang dengan anak ini yang banyak ingin tau. Saat itu jam 10 pagi, Sukarno dan Riwu bicara sampai sore.
Akhirnya Sukarno meminta Riwu membantu di rumahnya, banyak juga pemuda flores membantu di rumah Sukarno. Riwu ikut maen tonil dan membenahi baju-baju pemain tonil sambil belajar lagu Indonesia Raya dengan caranya yang gembira. Ia senang dan melompat-lompat ketika Bung Karno melawak dan menceritakan soal yang seru-seru.
Tahun 1942 Jepang datang ke Indonesia, Bung Karno akan dibawa ke Australia oleh Belanda dengan alasan untuk menyelamatkan jiwa Sukarno. Tapi saat di pinggir pesawat Riwu minta ikut, Bung Karno memaksa Belanda agar Riwu ikut ke Australia, tapi Belanda menolak. Bung Karno juga menolak bila Riwu tidak diajak, jadilah Bung Karno tidak diajak ke Australia. Sejarah Indonesia akan berubah total andai Riwu tidak memaksa dirinya ikut….
Saat dibuang ke Bengkulu dan berjalan kaki di tengah hutan lebat Inggit, Sukarno dan Riwu menuju Kota Padang. Di Padang mereka tinggal di kota itu beberapa bulan, Sukarno tiba di Djakarta bersama Riwu yang setia mengikutinya. Riwu adalah pembantu kesayangan Sukarno dan Ibu Inggit. Saat Proklamasi 1945 dibacakan dan Fatmawati isteri baru Sukarno yang berada di samping Bung Karno saat membacakan Proklamasi, mata Riwu berkaca-kaca dalam hatinya berteriak : “Mustinya Ibu Inggit yang disana, mustinya Ibu Inggit yang berdiri di bawah kibaran merah putih, karena Inggitlah yang tau susah dan jerih payah Sukarno.
Beberapa jam setelah Proklamasi, Sukarno memanggil Riwu dan menyuruh untuk mengabarkan satu Djakarta sudah merdeka. Riwu mencari Jeep dan diajaknya seorang bernama Sarwoko yang menyetir. Di tengah jalan Riwu berteriak “Merdeka…Merdeka…Merdeka!!!!!!!” sambil mengepalkan tangan keras-keras. Orang2 pada bingung melihat kelakuan Riwu tapi akhirnya paham, orang tahu Sukarno sudah memerdekakan Republik ini.
Di hari tuanya siapa yang mengenal Riwu, dia hanya memacul tanah tandus di kampung halamannya NTT, Riwu tak seperti pejabat yang dengan mobil mewah ke Istana dan dengan jas puluhan juta menghormat pada bendera Indonesia Raya. Ia hanya orang tua yang rapuh dan ia tidak pernah diundang ke Istana, karena mungkin saja bau dekil dan baju kotor tak pantas bagi Istana yang megah. Tapi tanpa Riwu kita tak mengenal Indonesia seperti apa yang kita kenal sekarang.
Riwu Ga, Sang Terompet Proklamasi, Sosok Yang 'Terlupakan' Dalam Penulisan Sejarah

Lelaki tua itu mengayunkan cangkulnya, membenamkan dalam-dalam ke kulit bumi. Sejengkal demi sejengkal tanah terbelah…. Begitu Peter A. Rohi melukiskan aktivitas Riwu Ga dalam bukunya, “Riwu Ga, 14 Tahun Mengawal Bung Karno, Kako Lami Angalai?”. Siapakah Riwu? Dialah pelayan sekaligus pengawal setia Bung Karno, sejak era pembuangan di Ende tahun 1934 hingga Indonesia merdeka 1945.

Nama ini tak pernah disebut-sebut dalam sejarah perjalanan bangsa. Rupanya, memang Riwu sendiri yang menghendaki begitu. Tak lama setelah Indonesia merdeka, Riwu pamit kepada Bung Karno untuk pulang ke Pulau Sabu, Timor, tanah kelahirannya. Sejak itu, ia tak pernah sekalipun bercerita, ihwal peran pentingnya mengawal dan melayani Bung Karno.

Tidak heran, ketika penulis Peter A. Rohi mengunjunginya di tengah hutan gewang, di ladang jagung miliknya, ia tengah giat mencangkul, meski usianya sudah 70-an tahun. Padahal, pada hari itu, kantor-kantor desa, kecamatan, hingga Istana Negara, tengah melangsungkan upacara peringatan proklamasi kemerdekaan, 17 Agustus.

Di desanya, tidak seorang pun mengetahui peran Riwu dalam gelar sejarah bangsa. Tidak kepala desa, tidak camat, tidak bupati, bahkan gubernur NTT sendiri tidak tahu ihwal sejarah Riwu. Meski begitu, sedikit pun tak ada gurat penyesalan dalam wajahnya. “Merah-putih itu ada di dalam hati ini,” ujar Riwu, memaknai seremoni 17 Agustus.

Bisa jadi, Riwu adalah sepenggal sejarah yang terlepas. Akan tetapi, Riwu-lah sang terompet proklamasi di Jakarta pada hari 17 Agustus 1945. Ia ingat persis peristiwa hari itu. Tidak lama setelah Bung Karno membacakan teks proklamasi, ia dipanggil, “Angalai (sahabat), sekarang giliran angalai,” lalu Bung Karno melanjutkan instruksinya, “sebarkan kepada rakyat Jakarta, kita sudah merdeka. Bawa bendera.”

Riwu sangat bangga mendapat perintah Bung Karno itu. Walaupun situasi kota Jakarta sungguh mencekam. Secara resmi, Jepang tidak atau belum mengakui kemerdekaan kita. Di jalan-jalan protokol tampak para serdadu kenpetai (tentara Jepang), yang bisa saja mencegat, melarang, atau bahkan menembaknya. Sedikit pun Riwu tak gentar. Ia harus menyebarkan berita kemerdekaan itu dengan berkeliling kota Jakarta, membawa bendera, seperti perintah Bung Karno.

Untuk tugas itu, ia dibantu Sarwoko, adik Mr. Sartono. Sarwoko mengemudikan mobil jip terbuka. Sementara Riwu berdiri sambil melambai-lambaikan bendera merah putih, dan berteriak-teriak sepanjang jalan. Mula sekali ia berteriak, “Kita sudah merdekaaaaa…..” tapi sambutan masyarakat di pinggir jalan dingin. Entah shock, entah tidak percaya, atau mungkin menanggap Riwu adalah seorang pemuda “gila” yang sedang mencari mati.

Demi melihat masyarakat bengong, Riwu berteriak lagi, dengan sangat meyakinkan, “Kita sudah merdekaaaa… merdekaaa… merdekaaa…. Kita sudah merdekaaa… merdekaaa… merdekaaa….” Barulah rakyat menyambutnya dengan teriakan yang sama, “Kita sudah merdekaaa… merdekaaa… merdekaaa…” sambil tangan kanan mengepal meninju angkasa. Bahana merdeka menggema di sepanjang jalan sahut-menyahut, disusul tangis histeris sebagian orang.

Begitulah. Jumat, 17 Agustus 1945, Riwu dan Sarwoko berkeliling kota Jakarta mengabarkan proklamasi yang baru saja diucapkan Bung Karno (dan Bung Hatta) atas nama seluruh bangsa Indonesia. 



Riwu Ga, orang NTT penyebar berita proklamasi RI



Riwu Ga begitu dekat dengan Bung Karno karena dia satu-satunya yang berada di samping Bung Karno pada saat-saat yang paling berat dalam perjuangan ini. 
-- MEGAWATI SOEKARNOPUTRI, 6 September 2004.


Cerita tentang Riwu Ga sudah ditulis Peter A. Rohi, wartawan senior asal NTT, dan diterbitkan menjadi buku. Peter menulis bagaimana Riwu Ga mendampingi Bung Karno [Ir. Soekarno] selama 14 tahun. Sejak di tanah pembuangan, Ende [Flores], ke Bengkulu, Jakarta, hingga Bung Karno menjadi presiden pertama Republik Indonesia. 

Mengutip buku karya Peter A. Rohi, Riwu Ga berperan penting dalam penyebaran berita proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, Soekarno, Hatta, dan para pejuang lainnya mendengarkan proklamasi dan mengibarkan bendera merah putih. Bung Karno, tutur Riwu Ga, menyanyi Indonesia Raya keras-keras.

"Upacara berlangsung sederhana, tapi banyak yang menangis. Saya juga ikut menitikkan air mata," cerita Riwu Ga kepada Peter A. Rohi di pelosok Pulau Timor, NTT, Agustus 1991. Peter perlu merayu pelaku sejarah ini agar mau buka mulut tentang pengalamannya mendampingi Bung Karno.

"Wo, kini giliran angalai (anda). Sebarkan pada penduduk Jakarta bahwa kita sudah merdeka. Bawa bendera!" perintah Bung Karno kepada Riwu Ga, yang akrab dia sapa Wo.

Maka, Riwu Ga membawa bendera merah putih di atas jip terbuka yang dikemudikan Sarwoko. 

"Saya melambai-lambaikan bendera itu. Rakyat berjubel menyambut kami. Saat itu memang tegang. Siapa tahu tiba-tiba kami dicegah atau ditembak Kenpeitai. Tapi ini tugas nasional dari Bung Karno. Maka, saya pun berteriak memberitahukan penduduk Jakarta yang tumpah ke jalan: Hei, rakyat Indonesia, hari ini kita sudah merdeka!"

Ucapan Riwu Ga beroleh sambutan. Semua oang di sepanjang jalan mengepalkan tangannya ke atas, lalu berpekik, "Merdeka! Merdeka!" 

Dari Pegangsaan Timur, Riwu Ga bergerak ke Tanah Abang, Pasar Baru, Jatinegara, Pasar Ikan... seluruh sudut Jakarta. Hari itu, tulis Peter A. Rohi, penduduk Jakarta mendengar berita proklamasi kemedekaan dari mulut Riwu Ga, orang NTT. Tidak mungkin dengar radio karena sudah disegel pasukan Jepang.

Sore hari, setelah mendengar berita proklamasi, warga Jakarta berkumpul di Pegangsaan Timur. Banyak yang bawa senjata siap siaga menghadapi segala kemungkinan. "Saya dengar mereka bisik-bisik untuk melucuti tentara Jepang. Kita harus punya tentara, dan tentara itu harus punya senjata. Begitu kata penduduk," papar Riwu Ga.

Seperti diketahui, proklamasi 17 Agustus 1945 berlangsung pada hari Jumat, bulan Ramadan atau puasa. Ketika azan magrib dikumandangkan, rakyat yang berkumpul di Pegangsaan melakukan sujud syukur. Ada yang ke masjid. Ada yang salat di halaman rumah. Lalu, buka puasa bersama-sama.

Pesan Bung Karno ketika masih berada di Flores, 1934-1938: "Kalau sudah merdeka, tidak ada lagi Jawa, tidak ada lagi Timor, Flores, atau Sabu."

Esok harinya, 18 Agustus 1945, Bung Karno resmi menjadi presiden. Kepala negara tentu membutuhkan ajudan, pembantu, staf administrasi... yang cakap. Riwu Ga merasa tahu diri dan minta pamit pada Bung Karno dan Ibu Fatmawati. 

"Saya orang kampung, buta huruf lagi. Tapi saya sudah siap kembali ke kampung halaman saya," ujar Riwu Ga.

Sabtu, 17 Agustus 1996, sekitar pukul 18.10 Witeng, Riwu Ga meninggal dunia di Rumah Sakit W.Z. Johannes, Kupang, setelah dirawat selama tiga minggu karena tifus dan komplikasi. Usianya 78. Riwu Ga meninggalkan istrinya, Belandina Riwu Ga, bersama sembilan anak dan 16 cucu. 

Tak ada pesan atau wasiat apa pun dari almarhum Riwu Ga. Almarhum juga tak pernah meminta dimakamkan di taman makam pahlawan atau minta gelar pahlawan nasional. "Orang tua kami hidup sederhana. Selama hidup beliau tak pernah minta fasilitas kepada pemerintah," kata Nona Ritha Foeh, keluarga Riwu Ga.

Tentang Riwu Ga, Megawati Soekarnoputri [anak Bung Karno, mantan presiden] menulis:

"Riwu Ga menjadi sekrup kecil yang sangat menentukan ketika sejarah menemukan jalannya. Andai kata dia tidak ada, andai kata dia tidak dekat dengan Bung Karno, dan sejuta andai kata lagi, bisa membelokkan sejarah negeri ini.
sumber : 
http://sejarah.kompasiana.com/2011/08/16/riwu-ga-sukarno-dan-proklamasi-1945/
http://forum.detik.com/showthread.php?t=110398
http://hurek.blogspot.com/2007/08/riwu-ga-orang-ntt-penyebar-berita.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar