Senin, 08 Agustus 2011

Bangga Menjadi Wanita Hindu


Ada seorang penulis yang keliru menafsirkan wanita dalam ajaran Hindu, kedudukan wanita sangat lemah dan tidak berdaya, ia memberikan sebuah contoh tentang dewi Sita yang setelah diculik oleh Rahvana dan dibebaskan kembali oleh suaminya, Rama beserta bala tentara keranya. Akhir kisah Dewi Sita diperlakukan secara tidak adil, dibuang ke hutan sampai akhir hidupnya. Sang penulis tersebut juga menjelaskan bahwa di Hindu wanita diperlakukan secara tidak adil dengan mengharuskannya menjalankan " sati ", yaitu dibakar hidup-hidup setelah suaminya meninggal.

Apa benar Hindu mengajarkan seperti itu?
Secara pribadi hanya tersenyum mendengar penjelasan sang penulis yang “keliru” ini. Ia mendeskreditkan ajaran agama lain tanpa pernah membaca ajaran Hindu yang sebenarnya. Apalagi dengan memberikan deskripsi kejadian tanpa mengutip sumber yang valid.

Kisah Dewi Sita dan Rama dapat kita temukan dalam kitab Ramayana yang ditulis oleh Maha Rsi Valmiki (dibaca : Walmiki) yang menurut kronologi waktu dari Veda (dibaca : Weda) sendiri berlangsung 18,1 juta tahun sebelum masehi. Kitab Ramayana adalah bagian dari Itihasa, yaitu suatu epos/sejarah kepahlawanan yang memang benar-benar pernah terjadi.
Mengenai bukti sejarah Ramayana sudah dibuktikan dengan ditemukannya reruntuhan kerajaan Ayodya dan juga jembatan yang dibangun tentara kera untuk menghubungkan India dengan Alenka (Srilanka) sebagaimana dapat diamati melalui pencitraan satelit  NASA berikut ini .
Kisah Dewi Sita menjalani pengasingan di Hutan dan akhirnya masuk kembali ke dalam perut bumi diceritakan dalam bagian (kanda) terakhir dari Ramayana. Jika kita pahami secara mendetail literatur Veda, penjelmaan Rama, Laksmana dan Sita adalah Avatara Tuhan yang muncul kedunia dengan tujuan membinasakan orang jahat dan menyelamatkan orang Dharma (benar/baik) sebagaimana disebutkan dalam : 
Bhagavad Gita 4.8 
pariträëäya sädhünäà  vinäçäya ca duñkåtäm  dharma-saàsthäpanärthäya sambhavämi yuge yuge”.
Pada dasarnya Tuhan tidak harus muncul dan hadir kedunia sebagai Rama untuk membinasakan Rahvana, tetapi Beliau melakukan “lila”, sandiwara rohani yang dapat dijadikan falsafah hidup bagi seluruh umat manusia.
Singkat cerita, setelah Rahvana binasa di tangan Avatara Rama, Dewi Sita pun terselamatkan dan dengan menggunakan pesawat “Vimanas” diterbangkan menuju Ayodya, kerajaan Sri Rama. Rama sebagai anak tertua dari tiga bersaudara akhirnya diangkat sebagai raja Ayodya untuk menggantikan Ayahnya yang sudah wafat dan otomatis Sita menjadi ratu-nya.
Setelah beberapa waktu berlalu, di kalangan rakyat Ayodya beredar desas-desus yang menyangsikan kesucian Dewi Sita yang sempat diculik dalam jangka waktu yang lama oleh Rahvana. Sampai pada akhirnya berita tidak sedap ini sampai kepada Rama, suami dewi Sita. Sudah tentu Rama sebagai Avatara Tuhan yang mengetahui segala sesuatu tidak pernah meragukan kesucian dewi Sita, namun untuk meredam desas-desus rakyatnya akhirnya Rama menyiapkan suatu upacara di mana Sita harus meloncat kedalam kobaran api. Jika Sita tidak suci, maka api akan membakar habis tubuh dewi Sita, tetapi jika Sita suci, maka api tidak akan sanggup membakarnya. Dalam upacara ini Sita sama sekali tidak terbakar dan hal ini membuktikan bahwa Sita benar-benar tidak ternoda.

Namun para rakyat yang dipenuhi oleh Avidya (kebodohan) masih saja menyangsikan prihal kesucian Dewi Sita, sampai pada akhirnya Rama sebagai seorang raja yang menjalankan Dharma Kesatria yang harus mengayomi seluruh rakyatnya dan menjaga ketertiban masyarakat memutuskan untuk mengasingkan dewi Sita ke hutan ketempat pertapaan Rsi Valmiki. 
Pada saat pengasingan ini dewi Sita sedang mengandung dan akhirnya melahirkan anak kembar di pertapan Rsi Valmiki. Oleh Maha Rsi Valmiki kedua anak ini dinamakan Kusa dan Lawa. Rsi Valmiki yang memiliki tugas menuliskan kisah Rama dan Sita kedalam kitab "Ramayana" ini mengajarkan kedua anak Rama dan Sita ini melantunkan syair-syair tentang kisah hidup orang tua mereka sendiri.
Sampai pada akhirnya Kusa dan Lawa mendapat kesempatan membawakan kisah ini di depan Rama, ayat mereka di istana Ayodya. Menyadari bahwa Kusa dan Lawa adalah anak-Nya, Rama langsung memeluk mereka. Singkat cerita akhirnya Rama memanggil dewi Sita kembali ke istana. Namun sebagai akhir “lila” Sri Rama, Dewi Sita menolak untuk kembali dan memilih kembali ke dalam dekapan ibu pertiwi, Dewi Sita kembali ke dalam perut bumi, dan Rama-pun akhirnya kembali ke Vaikuntaloka, alam rohani.
Jika kita membaca sepenggal kisah ini, mungkin kita akan beranggapan bahwa Sita diperlakukan secara tidak adil sebagai seorang wanita. Namun pada dasarnya ini adalah “LiLa”, sebuah sandiwara rohani yang tanpa dewi Sita pergi ke hutan ke pertapaan Rsi Valmiki, maka Ramayana mungkin tidak akan pernah ada dan diceritakan sampai saat ini. 
Demikian juga dari segi Dharma seorang Raja. Seorang yang menjabat sebagai pemimpin/raja, maka dia harus dapat melayani semua orang yang dipimpinnya, dia bukan lagi milik istrinya, anak-anak dan keluarganya, tetapi milik semua rakyatnya dan dia harus mengutamakan kepentingan rakyat banyak diantara kepentingan pribadi dan keluarga. Karena itulah pada saat itu tindakan Rama dan ketulusan Sita untuk mengasingkan diri kehutan demi kepentingan rakyat sudah sangat tepat.
Mengenai tindakan dimana seorang istri menceburkan diri kedalam perabuan suaminya atau “ sati ” memang dikenal oleh peradaban masyarakat Hindu. Tetapi tidak ada satupun sloka Veda yang mewajibkan seorang istri untuk ikut membakar diri bersama mayat suaminya. Mereka yang melakukan upacara sati adalah mereka yang memang atas dorongan dirinya sendiri yang memiliki cinta kasih dan pengabdian yang tulus pada suaminya. Dasar dari seorang istri untuk melakukan sati mungkin adalah Manu Smrti 2.67; “Patise-va gurau vasah, melayani suami dengan  tulus  di rumah sama dengan tinggal di Gurukula” dan lebih lanjut dikatakan, “Suddha  nari  pativrata, istri yang selalu setia kepada suami dalam kesenangan  maupun kesusahan adalah wanita saleh” (CN.8.18). 
Seorang istri yang setia seperti ini menurut Veda sudah pasti akan diangkat kedalam kedudukan yang lebih tinggi, mereka sduah pasti akan mencapai Sorga.
Namun demikian Veda berkali-kali mengingatkan bahwa tujuan akhir kita bukan Svarga/Sorga, tetapi Moksha, mencapai alam rohani yang sat-cit-ananda. Dan kit juga bukan badan ini, kita adalah Atman/jiva. Kita mengambil wujud sebagai manusia, sebagai laki-laki dan wanita hanya karena badan material ini, namun Atman/jiva kita tetaplah sama. 
Sama sekali tidak terdapat perbedaan antara atman/jiva seorang lelaki dan seorang perempuan. Tidak terdapat perbedaan atman/jiva seorang manusia dengan atman/jiva hewan dan tumbuhan. Hal ini juga ditegaskan dalam Bhagavad Gita 6.29 : 

Sarva bhuta-stham atmanam sarva bhutani catmani … sarvatra sama darsanah
 Yogi sejati melihat sang Atma ada dalam badan jasmani segala makhluk dan juga melihat segala makhluk dalam Atma. Sungguh, ia yang telah insyaf diri melihat Atma yang sama dimana-mana”.

Kesadaran yang mengatakan kita adalah manusia, yang mengatakan bahwa kita adalah lelaki dan perempuan adalah kesadaran palsu dari interaksi sang Jiva dengan maya. “Iccha dvesa samutthena dvandva mohena bharata sarge yanti parantapa, O keturunan Bharata, dibuai oleh keinginan menikmati secara terpisah dari-Ku dan keengganan melayani-Ku, wahai Penakluk musuh, maka  ia  (sang jiva) jatuh ke alam material” (Bhagavad Gita 7.27). Oleh karena na “bhajante”, tidak mau mengabdi kepada Sri Krishna dan “avajananti”, tidak senang kepada Beliau, maka “sthanad brastah patanti adhah”, jatuhlah sang jiva ke alam material (Bhagavata Purana 11.5.3).

Jadi sloka-sloka ini sudah sangat jelas bahwasanya Veda tidak membedakan antara wanita dan pria, bahkan Veda juga tidak membedakan seorang manusia dengan mahluk yang lain, melainkan semuanya adalah sama, yang membedakan hanyalah tingkat “Bhakti” sang Atman/Jiva kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Bukti yang sangat kuat mengenai kedudukan wanita yang sejajar dengan pria dapat dilihat dari penerimaan pewahyuan Veda itu sendiri. Wahyu kitab suci Veda diterima oleh 332 orang suci. 300 orang diantaranya adalah seorang Pria, yaitu antara lain Rsi Atri, Bhrugu, Vasishtha, Vishwamitra, Agastya, Yagyavalkya, Kanva, Bharadwaja, Gautama, Kashyap, Angirasa dan lain-lain. Dan 32 yang lainnya adalah seorang Brahmavadini, atau seorang Rsi wanita, yaitu antara lain Maitreyi, Gargi, Lopamudra dan lain-lain.
Melihat dari proses penerimaan Veda sendiri yang dapat diterima oleh seorang wanita, menunjukkan bahwa kedudukan wanita dalam Hindu adalah sejajar dengan pria (gender). Hal seperti ini mungkin tidak akan pernah anda temukan dalam sejarah agama yang lain, terutama agama-agama Abrahamik.

Wanita Hindu adalah 'Yadjamana'' Keluarga
Dr. I Made Titib dalam suatu kesempatan mengatakan, wanita Hindu hendaknya harus sesuai dengan apa yang diajarkan oleh agama Hindu itu sendiri. Seperti yang terdapat dalam Yajurveda XIX.94 disebutkan istri hendaknya taat melaksanakan upacara keagamaan. Demikian pula dalam Atharvaveda XIV.2.20, disebutkan seorang istri seharusnya melaksanakan kebaktian, memuja Saraswati, dan menghormati orangtua dan keluarga.

Wanita Hindu memiliki  ciri ''Tri Kaya Parisudha''
kecantikan wanita Hindu mencerminkan konsep Tri Kaya Parisudha. Selain pikirannya cantik, perkataan dan perbuatannya juga cantik. Dalam konteks berpikir (manacika), wanita Hindu dapat menghargai pendapat orang lain dan selalu berpikiran positif memandang segala sesuatu. Dalam lingkungan keluarga, misalnya  sosok wanita hendaknya mampu menghargai pendapat suami dan anak-anak. Selain itu bersedia menerima nasihat-nasihat suami. ''Tidak mengklaim bahwa pendapat sendirilah yang paling baik, tanpa mau mendengarkan pikiran orang lain,'' (tidak egois).

Dalam konteks berkata (wacika), wanita Hindu mesti satya wecana dan mampu memfungsikan bibir untuk berkata yang baik. Bukan membicarakan kejelekan orang lain (Bergosip di Pura), mencaci maki dan bahkan memfitnah.
Pada konteks berbuat (kayika), wanita Hindu harus mampu berbuat sesuai dengan ajaran agama. Kendati pengaruh global mengalir derasnya, wanita Hindu diharapkan tidak meninggalkan dan atau kehilangan jati diri.

Citra wanita Hindu, mempunyai citra yang mulia :
(1) sangat religius;
(2) punya etos kerja;
(3) sraddha bhakti;
(4) sebagai pendidik anak;
(5) punya keseimbangan kecerdasan (emosional, intelektual, spiritual). 

Jadi, banggalah Menjadi Wanita "Beragama Hindu" karena hanya di Hindu lah kita mengenal "Banyak Hal" yang tidak ditemukan dalam Ajaran Lain karena Hindu Veda (Weda) adalah Agama Yang Universal dan Ibu dari semua Sumber Pengetahuan sehingga di Hindu dijawab semuanya mulai dari filsafat Panca Sradha (5 keyakinan), Keseimbangan Alam, Jyotisha (ilmu perbintangan), Yoga (meditasi),  konsep Atom, Genetika , Yadnya (upacara), konsep Leluhur (Sanggah Rong Tiga) dan masih banyak lagi.

Keyakinan dalam agama Hindu dikenal dengan istilah Sradha. Ada lima keyakinan yang disebut Panca Sradha yang mendasari segala aspek kehidupan bagi umat Hindu.  
1 Brahman Keyakinan terhadap Tuhan
2 Atman Keyakinan terhadap Atman (Jiwa/Roh Tuhan)
3 Karmaphala Keyakinan terhadap hukum Karma (buah dari perbuatan)
4 Punarbhawa / Samsara Keyakinan terhadap penjelmaan kembali
5 Moksa Keyakinan terhadap bersatunya Atman dengan Brahman


BANGGALAH menjadi Wanita HINDU dan PERTAHANKANLAH karena agama adalah Hak Paling Hakiki (pribadi) dan tidak dipaksakan oleh apapun.

"Namaste.. "

Sumber : 
http://www.babadbali.com/canangsari/pa-panca-sradha.htm
http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1256&Itemid=120
http://narayanasmrti.com/
http://www.iloveblue.com/bali_gaul_funky/artikel_bali/detail/164.htm



Tidak ada komentar:

Posting Komentar