Rabu, 31 Agustus 2011

"KANDAPAT" (EMPAT TEMAN)


Kanda Pat adalah Empat Teman : Kanda = teman, Pat = empat, yaitu kekuatan-kekuatan HYANG WIDHI yang selalu menyertai roh (Atman) manusia sejak embrio sampai meninggal dunia mencapai Nirwana. 

TANAM ARI-ARI PENUHI JANJI SANG BAYI
--------------------------------------------------------
Layaknya bayi, ari-ari juga seharusnya dirawat. Karena sang jabang bayi telah terikat janji.
Dalam Manawa Dharma Sastra 11.27 tersurat mengenai upacara Garbha Homa. Ada mitologi menceritakan bahwa bayi dalam kandungan di emban oleh Bhatara Çiwa, ini merupakan pengejewantahan dari konsep Hindu yang mengatakan bahwa Tuhan melindungi semua ciptaanNya.
Dalam Lontar Angastia Prana diceritakan bahwa dalam kandungan (buana alit) saat mencapai sembilan bulan terjadi dialog antara Sanghyang Titah (Çiwa) dengan si jabang bayi. Bahwa ‘rumahnya’ dalam kandungan sang ibu itu hanyalah sementara dan menunggu saatnya Sanghyang Tuduh memerintahkan untuk lahir ke dunia. Namun, si jabang bayi justru takut menjelma ke dunia. Karena dianggap hidup di dunia ini penuh tantangan. Namun setelah dijelaskan oleh Bhatara Çiwa bahwa lahir ke dunia adalah untuk mencapai peningkatan diri guna mencapai kedekatan dengan Hyang Widhi maka mengertilah dia tujuan lahir ke alam fana ini. Dengan saran Bhatara Çiwa tersebut maka sang jabang bayi minta bantuan pada Sang Catur Sanak (saudara empatnya) yaitu ari-ari (plasenta), yeh nyom, lamas, dan darah. 
Empat unsur inilah saudara sejati dari manusia yang lahir dan hidup sampai mati kelak. Maka terjadilah perjanjian akan saling tidak melupakan antara mereka. Yakni, nanti begitu saat di tuduh untuk lahir maka yeh nyom membukakan cupu manik sang ibu, darah memberikan tenaga (bayu), lamas memberikan zat pelicin, dan ari-ari (plasenta) mendorong keluar, dengan kerja sama yang sempurna lahir bayi ke dunia ini untuk mengembangkan dirinya serta membuka misteri dunia ini. Akibat dari perjanjian inipula, apapun upacara dan apapun yang diberikan pada si bayi selayaknya diberikan pula pada tempat ari-ari ditanam. Misalnya saat si bayi dimandikan selayaknya tempat ari-ari tersebut juga disiram. Saat bayi diberi makan, seharusnya di ari-ari tersebut juga dihaturkan makanan--->ngejot. 
Sebelum ditanam ari-ari di bersihkan dengan air biasa kemudian dengan air kembang telon (kum-kuman). Lalu dimasukkan dalam kelapa yang sebelumnya ditulis aksara Ah, bagian belahan bawahnya ditulis aksara Ang. Setelah disatukan pada bagian sambungan ditulis aksara Ongkara yang bermakna agar Sang Catur Sanak selalu mohon kekuatan Hyang Widhi untuk melindungi sang bayi dalam kehidupannya di dunia. 
Kenapa menggunakan kelapa, Mangku Wiguna mengungkap dalam mitologi Hindu disebutkan bahwa kelapa itu adalah perwujudan kepala Dewa Brahma. Salah satu dari lima kepala Dewa Brahma diambil oleh Hyang Pramesti Guru dan dijadikan kelapa. Oleh karenanyalah Dewa Brahma berkepala empat dan dipuja sebagai Dewa Brahma Catur Muka. Dan dengan pemakaian kelapa tersebut adalah agar spirit dari Sang Catur Sanak dapat berguna untuk membantu si bayi mengembangkan kreativitas hidupnya agar bermakna dalam hidup ini. Tercapainya Dharma, Artha, Kama sebagai landasan umum mencapai tujuan akhir yaitu moksa. 

Sebagai catatan penting, yang perlu diperhatikan saat menanam ari-ari adalah letak menanamnya. Jika anak yang lahir laki-laki kelapa tersebut ditanam disisi kanan pada pintu keluar (posisi menghadap keluar rumah). Jika yang lahir perempuan maka ari-arinya ditanam disebelah kiri. Sebelumnya kelapa kelapa tersebut dibungkus dengan kain putih. Ujung kain disatukan, diisi satu buah kwangen dengan uang kepeng bolong Bali tujuh biji kemudian diikat dengan benang tukelan Bali. Dilengkapi dengan bekel ari-ari yaitu daun lontar yang telah ditulisi huruf Bali. Secara umum isi dari sesuratan tersebut adalah mohon perlindungan pada Ibu Pertiwi dan mohon agar Ibu Pertiwi berkenan mengantarkan Sang Catur Sanak dan si jabang bayi menuju jalan yang ditentukan oleh Sang Pencipta. Lebih lanjut, Jero Mangku Yatna Wiguna mengungkap soal ukuran sesuratan yang akan dipakai. Dikatakannya, ukuran sesuratan tersebut sebaiknya dengan panjang satu jengkal dan lebar dua jari dan berlubang tiga. Pada lubang atas diikat dengan benang berisi uang kepeng Bali tiga biji. 
Usai membuat sesuratan, semua sarana ditimbun. Setelah ditimbun, diatasnya ditanam pohon pandan berduri. Dalam mitosnya yang diambil dari cerita Dewi Adnyaswari disana diceritakan bahwa tetesan darah dari anak Catur Sanak tersebut tumbuh menjadi tanaman yang berduri. Selain itu makna memberi pandan juga dimaksud sebagai senjata untuk melindunginya. Kemudian ditindas dengan batu besar yang rata permukaannya. Di sebelahnya ditancapkan sanggah crukcuk dengan upacara banten peras telung sayut, penyeneng dan tumpeng pancawarna, sekar sarwa miik. Dan upakara untuk Catur Sanak berupa segehan kepelan Catur Warna, lauknya bawang jae diisi sedikit garam dan satu tangkih berisi sedikit beras, porosan, benang Bali dan dua biji uang kepeng dengan sampeyan plaus. Adapun maksud dari sanggah crukcuk ini adalah sebagai stana Sang Hyang Prajapati. Sedangkan untuk upakara si bayi yaitu nasi muncuk kuskusan dan dapetan satu tanding. Kemudian pada ari-ari tersebut didampingi dengan lampu minyak yang berfungsi sebagai penerangan dan pembakaran guna sama-sama meningkatkan kesucian antara bayi dan Catur Sanaknya. Ditambahkan, sebaiknya menggunakan lampu yang memakai minyak kelapa.

Menurut "Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi" Menjelaskan Kanda Pat adalah Empat Saudara/Teman : Kanda = teman, Pat = empat, yaitu kekuatan-kekuatan Brahman yang selalu menyertai roh (Atman) manusia sejak embrio sampai meninggal dunia mencapai Nirwana. Sesuai Kitab Suci Lontar Tutur Panus Karma, nama-nama Kanda Pat Berubah-ubah menurut keadaan / usia manusia:

Usia ManusiaKanda 1Kanda 2Kanda 3Kanda 4
Kandapat Rare:
EmbrioKarenBraAngdianLembana
Kandungan 20 hariAntaPrataKalaDengen
Kandungan 40 mingguAri-ariLamasGetihYeh-nyom
Lahir, tali pusar putusMekairSalabirMokairSelair
Kandapat Bhuta:
Bayi bisa bersuaraAnggapatiPrajapatiBanaspatiBanaspatiraja
Kandapat Sari:
14 tahunSidasaktiSidarasaMaskuinaAjiputrapetak
BercucuPodgalaKrodaSariYasren
Kandapat Atma:
Meninggal duniaSuratmanJogormanikMahakalaDorakala
Kandapat Dewa:
Manunggal (Moksa)SiwaSadasiwaParamasiwaSuniasiwa

Bentuk-bentuk kandapat yang dapat dilihat dan diraba secara nyata adalah ari-ari, lamas, getih dan yeh-nyom. Setelah mereka dikuburkan (segera setelah bayi lahir) maka perubahan selanjutnya adalah abstrak (tak berwujud) namun dapat dirasakan oleh manusia yang kekuatan bathinnya terpelihara.
Bagan di atas dapat juga dibaca terbalik dengan pengertian sebagai berikut:
Hyang Widhi mewujudkan diri menjadi empat manifestasi, kemudian keempatnya itu yaitu:
    1. Hyang Siwa selanjutnya mewujudkan dirinya menjadi ari-ari
    2. Hyang Sadasiwa mewujudkan diri sebagai lamas
    3. Hyang Paramasiwa mewujudkan diri menjadi getih, dan
    4. Hyang Suniasiwa mewujudkan diri menjadi Yeh-nyom.
Keempat teman yang abstrak ini menyertai terus sampai manusia mati dan rohnya menghadap ke Hyang Widhi. Mereka juga menjaga dan melindungi roh, serta mencatat sejauh mana atman (roh) terpengaruh oleh indria keduniawian. Semua pengalaman hidup di record (rekam) oleh Sang Suratman (Kandapat Atma/Saudara 1) yang dahulu berbentuk ari-ari. Inilah catatan subha dan asubha karma yang menjadi penilaian dan pertimbangan kesucian roh untuk menentukan tercapainya moksa (bersatunya atman-brahman) ataukah samsara (menjelma kembali). Kandapat ada dalam diri/ tubuh manusia, namun ketika tidur, kandapat keluar dari tubuh. Maka mereka perlu dibuatkan pelinggih berupa "pelangkiran" di kamar tidur, tempat bersemayamnya kanda pat ketika kita tidur pulas.
Demikian penjelasan dari "Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi"

Sumber : 
http://www.babadbali.com/pustaka/ibgwdwidja/ibd.php?id=26
http://artikelbali.blogspot.com/2007/07/tanam-ari-ari-penuhi-janji-sang-bayi.html

Selasa, 23 Agustus 2011

GAYATRI MANTRA

MEDITASI DENGAN GAYATRI MANTRA

OM bhur bhuvah svah, tat savitur varenyam,
bhargo devasya dhimahi,
dhiyo yo nah pracodayat.

Artinya:
Ya Tuhan, Sang Hyang Widhi Wasa (BRAHMAN) yang menguasai ketiga dunia ini, Engkau Maha Suci, Sumber sgala Cahaya dan Kehidupan, berikanlah Budi Nurani kami penerangan sinar Cahaya-MU Yang Maha Suci.
atau artinya :
OM (BRAHMAN) cahaya bersinar yang telah melahirkan semua loka atau dunia kesadaran, Oh Tuhan yang muncul melalui sinarnya matahari sinarilah budi kami.

Arti Persuku kata dalam Mantram Gayatri
Aum = Brahma ;
bhoor = embodiment of vital spiritual energy/perwujudan penting rohani energi;
bhuwah = destroyer of sufferings/pelebur penderitaan ;

swaha = embodiment of happiness/perwujudan kebahagiaan ;
tat = that/itu ;
savitur = bright like sun/bersinar seperti cahaya matahari ;
varenyam = best choicest/Pilihan Terbaik;
bhargo = Pelebur Dosa ;
devasya = divine/Ilahi ;
these first nine words describe the glory of God (9 kata pertama menjelaskan Kemuliaan Tuhan)
dheemahi = may imbibe/mencamkan ; pertains to meditation
dhiyo = intellect ; budi (akal pikiran)
yo = who/yang ;
naha = our/kita ;
prachodayat = may inspire/inspirasi !
"dhiyo yo na prachodayat" adalah berdoa kepada Brahman/Tuhan untuk menerangi (inpirasi) pikiran kami.


Inilah makna dari mantra yang memiliki semua bija-mantra yang kesemuanya melambangkan dari kekuasaan Brahman dalam cahaya suciNya. Om melambangkan Tuhan, Bhur mewakili bumi, Bhuvah melingkupi semua bagian dari daerahnya dewata-dewata dan setengah dewata sampai kepada matahari. Sedangkan Svah mewakili dimensi alam ketiga yang diketahui dengan nama svargaloka dan semua loka-loka yang cemerlang dia atasnya.

Gayatri mantra ini mempunyai getaran sangat kuat sehingga seseorang dalam pencaran rohaninya apabila tulus mengucapkan Gayatri mantra ini akan membawa kepada pencerahan bathin.
Gayatri mantram pada dasarnya bekerja secara otomatis dalam kesadaran rohani manusia. Ini di sebabkan mantram tersebut mewakili dari setiap elemen dasar manusia dan alam.
Manusia memiliki tiga bagian badan yaitu badan fisik, badan energy (aura atau cahaya) dan badan roh (atma) ketiga bagian badan ini saling terkait satu sama lainnya. Badan fisik berhubungan dengan napas dan prana, dan badan roh berhubungan dengan kesadaran Brahman.
MEDITASI DENGAN GAYATRI MANTRA
Sudah dikatakan Gayatri mantram mempunyai vibrasi sangat kuat terhadap otak dan batin asalkan tahu bagaimana cara menggunakan mantra tersebut. Meditasi pada hakekatnya berhubungan dengan pikiran, kesadaran, serta spirit dan sangat dibutuhkan guru yang khusus. Apabila anda ingin menjadikan Gayatri Mantra sebagai bagian dari meditasi anda harus melakukan puasa putih (tanpa garam, dan tidak minum susu) selama dua hari untuk memohon berkat kepada Maha Dewi.

Lakukan puasa mulai hari Rabu (pagi) sampai Jumat (pagi) hanya makan nasi putih dan air putih saja dan lakukan puja Gayatri setiap pagi menghadap matahari terbit, siang hari, dan malam hari. Dalam mengucapkan Gayatri mantra enam kali untuk pagi hari, empat kali untuk siang hari, dan dua puluh sembilan kali untuk malam hari. Lakukan puasa dan puja Gayatri dengan ketulusan hati jangan memohon suatu daya-daya sakti tertentu sebab belum tentu keinginan anda akan terpenuhi. Setelah melakukan puasa dan puja gayatri selama dua hari barulah anda di perkenankan untuk melakukan meditasi ternadap Gayatri mantra sebab api spirit anda sudah menyala.

Tambahan:
Dalam penjelasannya puasa putih ini dapat dilakukan sehari saja tapi harus pada hari kelahirannya. Misalnya lahir hari Senin, maka puasa dilakukan pada Senin pagi hingga Selasa pagi.

TEORI MEDITASI "GAYATRI MATRA"
Sebelum meditasi cucilah muka, tangan, serta kaki, atau anda mandi untuk membersihkan badan dari kotoran sekaligus membuat badan menjadi segar. Duduklah dengan memakai alas dari kain, tikar, atau selimut, posisi punggung tegak lurus dan tangan diletakkan dipangkuan dalam posisi relaks. Pejamkan mata, serta tenangkan pikiran berberapa detik, setelah itu ucapkan mantra :

"OM Bhur, OM Bhuvah, OM Svah" 

ucapkan dengan suara lambat serta santai jangan tergesa-gesa sebanyak lima kali, ini bertujuan untuk membersihkan lapisan pikiran.
Pada saat mengucapkan mantra ini arahkan pikiran pada mantra dan suara bukan pada bayangan pikiran. Setelah baca mantra selesai tutuplah mulut serta tenangkan pikiran lalu ucapkan Gayatri mantram

" OM Bhur, Bhuvah, Svah, tat savitur varenyam, bhargo devasya
dimahi, dhiyo yo nah pracodayat" 

dengan lambat dan tenang di dalam hati. Arahkan pikiran serta getaran suara mantra pada jantung, anda cukup meniatkan saja bukan membayangkan.

Meditasi dengan Gayatri mantram sangat efektif untuk berbagai macam keperluan seperti melindungi diri dari energy negatif, kecantikan, kekuatan batin, kecerdasan dan lain-lain. Kekuatan Gayatri mantra tidak bisa berfungsi apabila disertai niat kurang baik. Meditasi Gayatri mantra apabila dilakukan dengan baik serta tulus akan banyak muncul keajaiban-keajaiban yang tidak bisa kita sangka. Gayatri mantra bukan bekerja pada maksud si meditator namun karunia, energy, rahmat, dari Maha Devi Gayatri yang berhak menentukan.
Energy Gayatri masuk dari ubun-ubun melalui tulang belakang serta menyebar keseluruh tubuh fisik, tubuh energy, dan atma. Banyak guru-guru suci yang tercerahkan mengatakan "pencerahan akan kalian dapatkan pada Gayatri mantra. Pada jaman kali yuga ini tiada yang mampu melepaskan lapisan kekotoran pikiran selain getaran halus dari Gayatri mantra.


TIPS : 
Apabila anda merasa ada sakit yang disebabkan oleh ulah niat jahat seseorang, dan kalau percaya dengan hal ini anda bisa menggunakan cara berikut ini. Sediakan air bersih , higienis, untuk diminum, lalu jemurlah air tersebut pada cahaya matahari serta cahaya bulan di malam hari. Setelah air tersebut dijemur oleh kedua unsur cahaya tersebut berdoalah pada Tuhan sambil membaca Gayatri mantram 11 kali, setiap habis membaca Gayatri mantram tiupkan nafas anda pada air tersebut. Air tersebut bisa diminum atau dipakai campuran obat, mandi dan lain-lainnya. Dengan kekuatan ini segala macam bentuk energy jahat dari seseorang akan hancur oleh kekuatan dari mantra tersebut, hal ini sering terbukti di daerah-daaerah terpencil. Ada banyak lagi cara-cara yang bisa dijadikan renungan, betapa Gayatri mantra mempu untuk menghadapi dilema dalam hidup ini. 

Sumber : 

Download Gayatri Mantra : 
http://www.youtube.com/watch?v=nDnamSM3Z3s
http://en.wikipedia.org/wiki/Gayatri
http://www.iloveblue.com/bali_gaul_funky/artikel_bali/detail/1277.htm
http://1008pura.blogspot.com/2009/08/meditasi-dengan-gayatri-mantra.htm





Minggu, 21 Agustus 2011

Tari=Mudra (Gerak Tangan), Tabuh=Alunan Genta, Kidung=Puja Mantra

Dari Siwanataraja ke Tari, Tabuh dan Kidung.
Mungkin benar juga bila ada yang mengatakan bahwa seni di Bali lahir dari niat melakukan persembahan yang lengkap. Dari sisi pandang tingkatan dalam pelaksanaan agama, umat Hindu pada umumnya disebut sebagai Walaka, Pemangku disebut sebagai Ekajati sedangkan Pendeta disebut sebagai Dwijati (lahir dua kali atau orang yang dipandang telah ’pralina’ sebagai manusia lalu lahir sebagai Pinandita/Pendeta). Karena itu, dalam melakukan persembahan kehadapan Hyang Widhi, beberapa orang Walaka yang secara bersama-sama mempersembahkan wewalen berupa tari, tabuh dan kidung, barulah dipandang mempersembahkan bhakti setara dengan seorang Pendeta yang melakukan pemujaan pada upacara itu. Tari disetarakan dengan mudra atau gerak tangan sang Pendeta, karawitan atau tabuh disamakan dengan alunan genta (lonceng) sang Pendeta sedangkan kidung disenadakan dengan puja mantra sang Pendeta.
Denting genta yang mengiringi lantunan puja mantra dan gerakan tangan sang pandita mampu membawa suasana teduh saat dilaksanakan suatu upacara di Pura. Bila seseorang makin kuat menghayati suasana hati, lantunan puja mantra dengan genta dan tarian mudra tangan sang pandita akan lebih menyentuh rasa bila terdengar sayup suara gendér, gong gede, lelambatan ataupun tabuh selonding. Lantunan kidung dan gegitaan dengan cengkok lagu yang khas melengkapi suasana magis ritual itu.
Oleh manusia Bali, kebersamaan pemujaan dan persembahan seperti itu diyakini mampu memberi kedalaman rasa pada hati yang tulus. Tak jarang, seperti pelaksanaan upacara di beberapa pegunungan Tabanan, rasa berserah pada ketulusan seperti itu menimbulkan letupan emosi yang akhirnya mudah terjadi perilaku trance atau karawuhan. Di bawah alam sadar seseorang yang berserah dengan khusuk akan bertingkah tidak seperti dirinya sendiri dan ucapan-ucapannya pun amat dekat dengan alam niskala.
Memang sulit membantah bahwa seni tari di Bali sangat berkait erat dengan prosesi keagamaan. Bahkan layak dipercaya bahwa usia pakem tari sama tuanya dengan penetapan tatanan agama Hindu. Dewa Ciwa yang dipercaya oleh umat Hindu sebagai Sang Hyang Tunggal digambarkan pula sebagai “Dewa Tari” dengan gelar Ciwa Nataraja dalam sikap gerakan tari yang diartikan sebagai gerakan kekuatan mengisi ruang saat menciptakan alam semesta. (ilustrasi gambar diatas)
Pada awalnya, tari-tarian yang ditekuni oleh para pragina (penari) adalah jenis tarian sakral sebagai bagian tak terpisahkan dengan prosesi upacara dan hanya digelar tatkala diselenggarakan upacara keagamaan di Pura. Selanjutnya tumbuh pula jenis tarian yang merupakan pelengkap suatu prosesi keagamaan dan bahkan lebih jauh berkembang menjadi media komunikasi masyarakat sekaligus sebagai sarana hiburan.
Dari jenis dan fungsinya, seni tari dalam arti luas berikut seni karawitan (gamelan) yang mengiringinya dipilah menjadi tiga kelompok, yaitu, Tari Wali (religius), Tari Bebali (seremonial) dan Tari Balih-balihan (hiburan).
a. Tari Wali (religius)
Tari wali merupakan jenis tari berikut karawitan yang dipentaskan sehubungan dengan dilaksanakan suatu upacara keagamaan di suatu Pura. Tari wali/sakral atau disebut pula wewalen ini umumnya dipentaskan di halaman tengah suatu Pura (jeroan/purian) dan tari ini tidak akan dipentaskan pada acara-acara lainnya.
Perangkat tari seperti busana, topeng atau juga barong sangat dikeramatkan oleh warga panyungsung-nya serta disimpan di suatu Pura sehingga disyaratkan adanya suatu upacara khusus saat mengambil dari tempat penyimpanan, saat menarikan dan saat menyimpan kembali.
b. Seni Bebali (seremonial)
Tari bebali merupakan jenis tari Bali yang juga digelar pada suatu upacara keagamaan. Umumnya tari bebali dipentaskan dengan suatu lakon yang berhubungan dengan pelaksanaan upacara tersebut. Tari Topeng Pajegan, Topeng Panca, Drama Tari Gambuh dan Wayang Gedog (Lemah) misalnya, adalah jenis tari bebali yang paling sering dipentaskan sebagai pengiring upacara. Tari bebali biasanya dipentaskan di jaba tengah yang merupakan ruang di antara halaman luar (jaba sisi) dengan halaman utama (jeroan) suatu Pura.
c. Tari Balih-balihan (hiburan)
Seni balih-balihan merupakan perkembangan dari seni wali dan bebali yang ditujukan sebagai sarana hiburan dengan menggunakan lakon serta kreasi tari dan tabuh yang lebih bebas. Seringkali jenis balih-balihan ini menggunakan lakon-lakon yang populer di masyarakat saat itu untuk membuka kesempatan masuknya emosi penonton ke dalam pergelaran, sehingga penonton merupakan bagian yang sama pentingnya dengan penari dan penabuh pada pergelaran tersebut. Topeng (bondres), drama gong, arja dan sendratari adalah sebagian kecil dari sekian banyak jenis seni balih-balihan.
Pada mulanya balih-balihan dipentaskan malam hari pada suatu upacara di halaman luar suatu Pura (jaba sisi) untuk maksud memberikan hiburan dan kegembiraan pada masyarakat. Pada perkembangannya kini balih-balihan dipentaskan tanpa mesti terkait dengan upacara agama, semata-mata sarana hiburan dan bahkan terkait dengan pariwisata. (WS)
Sumber : 
Budaya Tari :
http://www.facebook.com/media/set/?set=a.220682614618058.64460.100000289639854&type=1
Potret Bali : http://www.facebook.com/groups/fotoogohogoh/doc/189036914481259/
Nuansa Hindu :
http://www.facebook.com/media/set/?set=a.225406927478960.66414.100000289639854&type=1
Alat Musik Tradisional :
http://www.facebook.com/media/set/?set=a.225406927478960.66414.100000289639854&type=1
Warna Indonesia :
http://www.facebook.com/media/set/?set=a.225406927478960.66414.100000289639854&type=1


Rabu, 17 Agustus 2011

Riwu Ga "Sang Terompet" Kemerdekaan Proklamasi RI

Riwu Ga, Sukarno dan Proklamasi 1945
Siapa yang kenal almarhum Riwu Ga? Mungkin ada, tapi sangat sedikit. Padahal, orang Nusatenggara Timur (NTT) asal Pulau Sabu ini telah menunjukkan dedikasi yang luar biasa untuk Republik ini. Semua warga yang tinggal di NTT harus mengenalnya dalam nuansa Hari Kemerdekaan 17 agustus ini dan merasa bangga dengan beliau. Ternyata, orang kecil macam Riwu Ga punya kontribusi besar untuk Indonesia.
Pada tahun 1934 saat Bung Karno baru saja sampai di tempat pembuangannya di Ende, Flores. Ada seorang muda yang senang melihat kedatangan orang buangan dari Jawa. Anak berumur 14 tahun itu bernama Riwu Ga. Ia setiap pagi berjalan 3 kilometer untuk menonton orang dari Jawa yang katanya terkenal. Suatu siang saat Bung Karno sedang mengerjakan potongan kayu untuk ganjel pintu, Riwu Ga datang membawa pisang dan bertanya-tanya pada Sukarno tentang caranya membuat potongan kayu. Sukarno adalah seorang Insinyur, tapi ia selalu bicara dengan bahasa yang dimengerti lawan bicara dan Sukarno senang dengan anak ini yang banyak ingin tau. Saat itu jam 10 pagi, Sukarno dan Riwu bicara sampai sore.
Akhirnya Sukarno meminta Riwu membantu di rumahnya, banyak juga pemuda flores membantu di rumah Sukarno. Riwu ikut maen tonil dan membenahi baju-baju pemain tonil sambil belajar lagu Indonesia Raya dengan caranya yang gembira. Ia senang dan melompat-lompat ketika Bung Karno melawak dan menceritakan soal yang seru-seru.
Tahun 1942 Jepang datang ke Indonesia, Bung Karno akan dibawa ke Australia oleh Belanda dengan alasan untuk menyelamatkan jiwa Sukarno. Tapi saat di pinggir pesawat Riwu minta ikut, Bung Karno memaksa Belanda agar Riwu ikut ke Australia, tapi Belanda menolak. Bung Karno juga menolak bila Riwu tidak diajak, jadilah Bung Karno tidak diajak ke Australia. Sejarah Indonesia akan berubah total andai Riwu tidak memaksa dirinya ikut….
Saat dibuang ke Bengkulu dan berjalan kaki di tengah hutan lebat Inggit, Sukarno dan Riwu menuju Kota Padang. Di Padang mereka tinggal di kota itu beberapa bulan, Sukarno tiba di Djakarta bersama Riwu yang setia mengikutinya. Riwu adalah pembantu kesayangan Sukarno dan Ibu Inggit. Saat Proklamasi 1945 dibacakan dan Fatmawati isteri baru Sukarno yang berada di samping Bung Karno saat membacakan Proklamasi, mata Riwu berkaca-kaca dalam hatinya berteriak : “Mustinya Ibu Inggit yang disana, mustinya Ibu Inggit yang berdiri di bawah kibaran merah putih, karena Inggitlah yang tau susah dan jerih payah Sukarno.
Beberapa jam setelah Proklamasi, Sukarno memanggil Riwu dan menyuruh untuk mengabarkan satu Djakarta sudah merdeka. Riwu mencari Jeep dan diajaknya seorang bernama Sarwoko yang menyetir. Di tengah jalan Riwu berteriak “Merdeka…Merdeka…Merdeka!!!!!!!” sambil mengepalkan tangan keras-keras. Orang2 pada bingung melihat kelakuan Riwu tapi akhirnya paham, orang tahu Sukarno sudah memerdekakan Republik ini.
Di hari tuanya siapa yang mengenal Riwu, dia hanya memacul tanah tandus di kampung halamannya NTT, Riwu tak seperti pejabat yang dengan mobil mewah ke Istana dan dengan jas puluhan juta menghormat pada bendera Indonesia Raya. Ia hanya orang tua yang rapuh dan ia tidak pernah diundang ke Istana, karena mungkin saja bau dekil dan baju kotor tak pantas bagi Istana yang megah. Tapi tanpa Riwu kita tak mengenal Indonesia seperti apa yang kita kenal sekarang.
Riwu Ga, Sang Terompet Proklamasi, Sosok Yang 'Terlupakan' Dalam Penulisan Sejarah

Lelaki tua itu mengayunkan cangkulnya, membenamkan dalam-dalam ke kulit bumi. Sejengkal demi sejengkal tanah terbelah…. Begitu Peter A. Rohi melukiskan aktivitas Riwu Ga dalam bukunya, “Riwu Ga, 14 Tahun Mengawal Bung Karno, Kako Lami Angalai?”. Siapakah Riwu? Dialah pelayan sekaligus pengawal setia Bung Karno, sejak era pembuangan di Ende tahun 1934 hingga Indonesia merdeka 1945.

Nama ini tak pernah disebut-sebut dalam sejarah perjalanan bangsa. Rupanya, memang Riwu sendiri yang menghendaki begitu. Tak lama setelah Indonesia merdeka, Riwu pamit kepada Bung Karno untuk pulang ke Pulau Sabu, Timor, tanah kelahirannya. Sejak itu, ia tak pernah sekalipun bercerita, ihwal peran pentingnya mengawal dan melayani Bung Karno.

Tidak heran, ketika penulis Peter A. Rohi mengunjunginya di tengah hutan gewang, di ladang jagung miliknya, ia tengah giat mencangkul, meski usianya sudah 70-an tahun. Padahal, pada hari itu, kantor-kantor desa, kecamatan, hingga Istana Negara, tengah melangsungkan upacara peringatan proklamasi kemerdekaan, 17 Agustus.

Di desanya, tidak seorang pun mengetahui peran Riwu dalam gelar sejarah bangsa. Tidak kepala desa, tidak camat, tidak bupati, bahkan gubernur NTT sendiri tidak tahu ihwal sejarah Riwu. Meski begitu, sedikit pun tak ada gurat penyesalan dalam wajahnya. “Merah-putih itu ada di dalam hati ini,” ujar Riwu, memaknai seremoni 17 Agustus.

Bisa jadi, Riwu adalah sepenggal sejarah yang terlepas. Akan tetapi, Riwu-lah sang terompet proklamasi di Jakarta pada hari 17 Agustus 1945. Ia ingat persis peristiwa hari itu. Tidak lama setelah Bung Karno membacakan teks proklamasi, ia dipanggil, “Angalai (sahabat), sekarang giliran angalai,” lalu Bung Karno melanjutkan instruksinya, “sebarkan kepada rakyat Jakarta, kita sudah merdeka. Bawa bendera.”

Riwu sangat bangga mendapat perintah Bung Karno itu. Walaupun situasi kota Jakarta sungguh mencekam. Secara resmi, Jepang tidak atau belum mengakui kemerdekaan kita. Di jalan-jalan protokol tampak para serdadu kenpetai (tentara Jepang), yang bisa saja mencegat, melarang, atau bahkan menembaknya. Sedikit pun Riwu tak gentar. Ia harus menyebarkan berita kemerdekaan itu dengan berkeliling kota Jakarta, membawa bendera, seperti perintah Bung Karno.

Untuk tugas itu, ia dibantu Sarwoko, adik Mr. Sartono. Sarwoko mengemudikan mobil jip terbuka. Sementara Riwu berdiri sambil melambai-lambaikan bendera merah putih, dan berteriak-teriak sepanjang jalan. Mula sekali ia berteriak, “Kita sudah merdekaaaaa…..” tapi sambutan masyarakat di pinggir jalan dingin. Entah shock, entah tidak percaya, atau mungkin menanggap Riwu adalah seorang pemuda “gila” yang sedang mencari mati.

Demi melihat masyarakat bengong, Riwu berteriak lagi, dengan sangat meyakinkan, “Kita sudah merdekaaaa… merdekaaa… merdekaaa…. Kita sudah merdekaaa… merdekaaa… merdekaaa….” Barulah rakyat menyambutnya dengan teriakan yang sama, “Kita sudah merdekaaa… merdekaaa… merdekaaa…” sambil tangan kanan mengepal meninju angkasa. Bahana merdeka menggema di sepanjang jalan sahut-menyahut, disusul tangis histeris sebagian orang.

Begitulah. Jumat, 17 Agustus 1945, Riwu dan Sarwoko berkeliling kota Jakarta mengabarkan proklamasi yang baru saja diucapkan Bung Karno (dan Bung Hatta) atas nama seluruh bangsa Indonesia. 



Riwu Ga, orang NTT penyebar berita proklamasi RI



Riwu Ga begitu dekat dengan Bung Karno karena dia satu-satunya yang berada di samping Bung Karno pada saat-saat yang paling berat dalam perjuangan ini. 
-- MEGAWATI SOEKARNOPUTRI, 6 September 2004.


Cerita tentang Riwu Ga sudah ditulis Peter A. Rohi, wartawan senior asal NTT, dan diterbitkan menjadi buku. Peter menulis bagaimana Riwu Ga mendampingi Bung Karno [Ir. Soekarno] selama 14 tahun. Sejak di tanah pembuangan, Ende [Flores], ke Bengkulu, Jakarta, hingga Bung Karno menjadi presiden pertama Republik Indonesia. 

Mengutip buku karya Peter A. Rohi, Riwu Ga berperan penting dalam penyebaran berita proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, Soekarno, Hatta, dan para pejuang lainnya mendengarkan proklamasi dan mengibarkan bendera merah putih. Bung Karno, tutur Riwu Ga, menyanyi Indonesia Raya keras-keras.

"Upacara berlangsung sederhana, tapi banyak yang menangis. Saya juga ikut menitikkan air mata," cerita Riwu Ga kepada Peter A. Rohi di pelosok Pulau Timor, NTT, Agustus 1991. Peter perlu merayu pelaku sejarah ini agar mau buka mulut tentang pengalamannya mendampingi Bung Karno.

"Wo, kini giliran angalai (anda). Sebarkan pada penduduk Jakarta bahwa kita sudah merdeka. Bawa bendera!" perintah Bung Karno kepada Riwu Ga, yang akrab dia sapa Wo.

Maka, Riwu Ga membawa bendera merah putih di atas jip terbuka yang dikemudikan Sarwoko. 

"Saya melambai-lambaikan bendera itu. Rakyat berjubel menyambut kami. Saat itu memang tegang. Siapa tahu tiba-tiba kami dicegah atau ditembak Kenpeitai. Tapi ini tugas nasional dari Bung Karno. Maka, saya pun berteriak memberitahukan penduduk Jakarta yang tumpah ke jalan: Hei, rakyat Indonesia, hari ini kita sudah merdeka!"

Ucapan Riwu Ga beroleh sambutan. Semua oang di sepanjang jalan mengepalkan tangannya ke atas, lalu berpekik, "Merdeka! Merdeka!" 

Dari Pegangsaan Timur, Riwu Ga bergerak ke Tanah Abang, Pasar Baru, Jatinegara, Pasar Ikan... seluruh sudut Jakarta. Hari itu, tulis Peter A. Rohi, penduduk Jakarta mendengar berita proklamasi kemedekaan dari mulut Riwu Ga, orang NTT. Tidak mungkin dengar radio karena sudah disegel pasukan Jepang.

Sore hari, setelah mendengar berita proklamasi, warga Jakarta berkumpul di Pegangsaan Timur. Banyak yang bawa senjata siap siaga menghadapi segala kemungkinan. "Saya dengar mereka bisik-bisik untuk melucuti tentara Jepang. Kita harus punya tentara, dan tentara itu harus punya senjata. Begitu kata penduduk," papar Riwu Ga.

Seperti diketahui, proklamasi 17 Agustus 1945 berlangsung pada hari Jumat, bulan Ramadan atau puasa. Ketika azan magrib dikumandangkan, rakyat yang berkumpul di Pegangsaan melakukan sujud syukur. Ada yang ke masjid. Ada yang salat di halaman rumah. Lalu, buka puasa bersama-sama.

Pesan Bung Karno ketika masih berada di Flores, 1934-1938: "Kalau sudah merdeka, tidak ada lagi Jawa, tidak ada lagi Timor, Flores, atau Sabu."

Esok harinya, 18 Agustus 1945, Bung Karno resmi menjadi presiden. Kepala negara tentu membutuhkan ajudan, pembantu, staf administrasi... yang cakap. Riwu Ga merasa tahu diri dan minta pamit pada Bung Karno dan Ibu Fatmawati. 

"Saya orang kampung, buta huruf lagi. Tapi saya sudah siap kembali ke kampung halaman saya," ujar Riwu Ga.

Sabtu, 17 Agustus 1996, sekitar pukul 18.10 Witeng, Riwu Ga meninggal dunia di Rumah Sakit W.Z. Johannes, Kupang, setelah dirawat selama tiga minggu karena tifus dan komplikasi. Usianya 78. Riwu Ga meninggalkan istrinya, Belandina Riwu Ga, bersama sembilan anak dan 16 cucu. 

Tak ada pesan atau wasiat apa pun dari almarhum Riwu Ga. Almarhum juga tak pernah meminta dimakamkan di taman makam pahlawan atau minta gelar pahlawan nasional. "Orang tua kami hidup sederhana. Selama hidup beliau tak pernah minta fasilitas kepada pemerintah," kata Nona Ritha Foeh, keluarga Riwu Ga.

Tentang Riwu Ga, Megawati Soekarnoputri [anak Bung Karno, mantan presiden] menulis:

"Riwu Ga menjadi sekrup kecil yang sangat menentukan ketika sejarah menemukan jalannya. Andai kata dia tidak ada, andai kata dia tidak dekat dengan Bung Karno, dan sejuta andai kata lagi, bisa membelokkan sejarah negeri ini.
sumber : 
http://sejarah.kompasiana.com/2011/08/16/riwu-ga-sukarno-dan-proklamasi-1945/
http://forum.detik.com/showthread.php?t=110398
http://hurek.blogspot.com/2007/08/riwu-ga-orang-ntt-penyebar-berita.html

Senin, 08 Agustus 2011

Bangga Menjadi Wanita Hindu


Ada seorang penulis yang keliru menafsirkan wanita dalam ajaran Hindu, kedudukan wanita sangat lemah dan tidak berdaya, ia memberikan sebuah contoh tentang dewi Sita yang setelah diculik oleh Rahvana dan dibebaskan kembali oleh suaminya, Rama beserta bala tentara keranya. Akhir kisah Dewi Sita diperlakukan secara tidak adil, dibuang ke hutan sampai akhir hidupnya. Sang penulis tersebut juga menjelaskan bahwa di Hindu wanita diperlakukan secara tidak adil dengan mengharuskannya menjalankan " sati ", yaitu dibakar hidup-hidup setelah suaminya meninggal.

Apa benar Hindu mengajarkan seperti itu?
Secara pribadi hanya tersenyum mendengar penjelasan sang penulis yang “keliru” ini. Ia mendeskreditkan ajaran agama lain tanpa pernah membaca ajaran Hindu yang sebenarnya. Apalagi dengan memberikan deskripsi kejadian tanpa mengutip sumber yang valid.

Kisah Dewi Sita dan Rama dapat kita temukan dalam kitab Ramayana yang ditulis oleh Maha Rsi Valmiki (dibaca : Walmiki) yang menurut kronologi waktu dari Veda (dibaca : Weda) sendiri berlangsung 18,1 juta tahun sebelum masehi. Kitab Ramayana adalah bagian dari Itihasa, yaitu suatu epos/sejarah kepahlawanan yang memang benar-benar pernah terjadi.
Mengenai bukti sejarah Ramayana sudah dibuktikan dengan ditemukannya reruntuhan kerajaan Ayodya dan juga jembatan yang dibangun tentara kera untuk menghubungkan India dengan Alenka (Srilanka) sebagaimana dapat diamati melalui pencitraan satelit  NASA berikut ini .
Kisah Dewi Sita menjalani pengasingan di Hutan dan akhirnya masuk kembali ke dalam perut bumi diceritakan dalam bagian (kanda) terakhir dari Ramayana. Jika kita pahami secara mendetail literatur Veda, penjelmaan Rama, Laksmana dan Sita adalah Avatara Tuhan yang muncul kedunia dengan tujuan membinasakan orang jahat dan menyelamatkan orang Dharma (benar/baik) sebagaimana disebutkan dalam : 
Bhagavad Gita 4.8 
pariträëäya sädhünäà  vinäçäya ca duñkåtäm  dharma-saàsthäpanärthäya sambhavämi yuge yuge”.
Pada dasarnya Tuhan tidak harus muncul dan hadir kedunia sebagai Rama untuk membinasakan Rahvana, tetapi Beliau melakukan “lila”, sandiwara rohani yang dapat dijadikan falsafah hidup bagi seluruh umat manusia.
Singkat cerita, setelah Rahvana binasa di tangan Avatara Rama, Dewi Sita pun terselamatkan dan dengan menggunakan pesawat “Vimanas” diterbangkan menuju Ayodya, kerajaan Sri Rama. Rama sebagai anak tertua dari tiga bersaudara akhirnya diangkat sebagai raja Ayodya untuk menggantikan Ayahnya yang sudah wafat dan otomatis Sita menjadi ratu-nya.
Setelah beberapa waktu berlalu, di kalangan rakyat Ayodya beredar desas-desus yang menyangsikan kesucian Dewi Sita yang sempat diculik dalam jangka waktu yang lama oleh Rahvana. Sampai pada akhirnya berita tidak sedap ini sampai kepada Rama, suami dewi Sita. Sudah tentu Rama sebagai Avatara Tuhan yang mengetahui segala sesuatu tidak pernah meragukan kesucian dewi Sita, namun untuk meredam desas-desus rakyatnya akhirnya Rama menyiapkan suatu upacara di mana Sita harus meloncat kedalam kobaran api. Jika Sita tidak suci, maka api akan membakar habis tubuh dewi Sita, tetapi jika Sita suci, maka api tidak akan sanggup membakarnya. Dalam upacara ini Sita sama sekali tidak terbakar dan hal ini membuktikan bahwa Sita benar-benar tidak ternoda.

Namun para rakyat yang dipenuhi oleh Avidya (kebodohan) masih saja menyangsikan prihal kesucian Dewi Sita, sampai pada akhirnya Rama sebagai seorang raja yang menjalankan Dharma Kesatria yang harus mengayomi seluruh rakyatnya dan menjaga ketertiban masyarakat memutuskan untuk mengasingkan dewi Sita ke hutan ketempat pertapaan Rsi Valmiki. 
Pada saat pengasingan ini dewi Sita sedang mengandung dan akhirnya melahirkan anak kembar di pertapan Rsi Valmiki. Oleh Maha Rsi Valmiki kedua anak ini dinamakan Kusa dan Lawa. Rsi Valmiki yang memiliki tugas menuliskan kisah Rama dan Sita kedalam kitab "Ramayana" ini mengajarkan kedua anak Rama dan Sita ini melantunkan syair-syair tentang kisah hidup orang tua mereka sendiri.
Sampai pada akhirnya Kusa dan Lawa mendapat kesempatan membawakan kisah ini di depan Rama, ayat mereka di istana Ayodya. Menyadari bahwa Kusa dan Lawa adalah anak-Nya, Rama langsung memeluk mereka. Singkat cerita akhirnya Rama memanggil dewi Sita kembali ke istana. Namun sebagai akhir “lila” Sri Rama, Dewi Sita menolak untuk kembali dan memilih kembali ke dalam dekapan ibu pertiwi, Dewi Sita kembali ke dalam perut bumi, dan Rama-pun akhirnya kembali ke Vaikuntaloka, alam rohani.
Jika kita membaca sepenggal kisah ini, mungkin kita akan beranggapan bahwa Sita diperlakukan secara tidak adil sebagai seorang wanita. Namun pada dasarnya ini adalah “LiLa”, sebuah sandiwara rohani yang tanpa dewi Sita pergi ke hutan ke pertapaan Rsi Valmiki, maka Ramayana mungkin tidak akan pernah ada dan diceritakan sampai saat ini. 
Demikian juga dari segi Dharma seorang Raja. Seorang yang menjabat sebagai pemimpin/raja, maka dia harus dapat melayani semua orang yang dipimpinnya, dia bukan lagi milik istrinya, anak-anak dan keluarganya, tetapi milik semua rakyatnya dan dia harus mengutamakan kepentingan rakyat banyak diantara kepentingan pribadi dan keluarga. Karena itulah pada saat itu tindakan Rama dan ketulusan Sita untuk mengasingkan diri kehutan demi kepentingan rakyat sudah sangat tepat.
Mengenai tindakan dimana seorang istri menceburkan diri kedalam perabuan suaminya atau “ sati ” memang dikenal oleh peradaban masyarakat Hindu. Tetapi tidak ada satupun sloka Veda yang mewajibkan seorang istri untuk ikut membakar diri bersama mayat suaminya. Mereka yang melakukan upacara sati adalah mereka yang memang atas dorongan dirinya sendiri yang memiliki cinta kasih dan pengabdian yang tulus pada suaminya. Dasar dari seorang istri untuk melakukan sati mungkin adalah Manu Smrti 2.67; “Patise-va gurau vasah, melayani suami dengan  tulus  di rumah sama dengan tinggal di Gurukula” dan lebih lanjut dikatakan, “Suddha  nari  pativrata, istri yang selalu setia kepada suami dalam kesenangan  maupun kesusahan adalah wanita saleh” (CN.8.18). 
Seorang istri yang setia seperti ini menurut Veda sudah pasti akan diangkat kedalam kedudukan yang lebih tinggi, mereka sduah pasti akan mencapai Sorga.
Namun demikian Veda berkali-kali mengingatkan bahwa tujuan akhir kita bukan Svarga/Sorga, tetapi Moksha, mencapai alam rohani yang sat-cit-ananda. Dan kit juga bukan badan ini, kita adalah Atman/jiva. Kita mengambil wujud sebagai manusia, sebagai laki-laki dan wanita hanya karena badan material ini, namun Atman/jiva kita tetaplah sama. 
Sama sekali tidak terdapat perbedaan antara atman/jiva seorang lelaki dan seorang perempuan. Tidak terdapat perbedaan atman/jiva seorang manusia dengan atman/jiva hewan dan tumbuhan. Hal ini juga ditegaskan dalam Bhagavad Gita 6.29 : 

Sarva bhuta-stham atmanam sarva bhutani catmani … sarvatra sama darsanah
 Yogi sejati melihat sang Atma ada dalam badan jasmani segala makhluk dan juga melihat segala makhluk dalam Atma. Sungguh, ia yang telah insyaf diri melihat Atma yang sama dimana-mana”.

Kesadaran yang mengatakan kita adalah manusia, yang mengatakan bahwa kita adalah lelaki dan perempuan adalah kesadaran palsu dari interaksi sang Jiva dengan maya. “Iccha dvesa samutthena dvandva mohena bharata sarge yanti parantapa, O keturunan Bharata, dibuai oleh keinginan menikmati secara terpisah dari-Ku dan keengganan melayani-Ku, wahai Penakluk musuh, maka  ia  (sang jiva) jatuh ke alam material” (Bhagavad Gita 7.27). Oleh karena na “bhajante”, tidak mau mengabdi kepada Sri Krishna dan “avajananti”, tidak senang kepada Beliau, maka “sthanad brastah patanti adhah”, jatuhlah sang jiva ke alam material (Bhagavata Purana 11.5.3).

Jadi sloka-sloka ini sudah sangat jelas bahwasanya Veda tidak membedakan antara wanita dan pria, bahkan Veda juga tidak membedakan seorang manusia dengan mahluk yang lain, melainkan semuanya adalah sama, yang membedakan hanyalah tingkat “Bhakti” sang Atman/Jiva kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Bukti yang sangat kuat mengenai kedudukan wanita yang sejajar dengan pria dapat dilihat dari penerimaan pewahyuan Veda itu sendiri. Wahyu kitab suci Veda diterima oleh 332 orang suci. 300 orang diantaranya adalah seorang Pria, yaitu antara lain Rsi Atri, Bhrugu, Vasishtha, Vishwamitra, Agastya, Yagyavalkya, Kanva, Bharadwaja, Gautama, Kashyap, Angirasa dan lain-lain. Dan 32 yang lainnya adalah seorang Brahmavadini, atau seorang Rsi wanita, yaitu antara lain Maitreyi, Gargi, Lopamudra dan lain-lain.
Melihat dari proses penerimaan Veda sendiri yang dapat diterima oleh seorang wanita, menunjukkan bahwa kedudukan wanita dalam Hindu adalah sejajar dengan pria (gender). Hal seperti ini mungkin tidak akan pernah anda temukan dalam sejarah agama yang lain, terutama agama-agama Abrahamik.

Wanita Hindu adalah 'Yadjamana'' Keluarga
Dr. I Made Titib dalam suatu kesempatan mengatakan, wanita Hindu hendaknya harus sesuai dengan apa yang diajarkan oleh agama Hindu itu sendiri. Seperti yang terdapat dalam Yajurveda XIX.94 disebutkan istri hendaknya taat melaksanakan upacara keagamaan. Demikian pula dalam Atharvaveda XIV.2.20, disebutkan seorang istri seharusnya melaksanakan kebaktian, memuja Saraswati, dan menghormati orangtua dan keluarga.

Wanita Hindu memiliki  ciri ''Tri Kaya Parisudha''
kecantikan wanita Hindu mencerminkan konsep Tri Kaya Parisudha. Selain pikirannya cantik, perkataan dan perbuatannya juga cantik. Dalam konteks berpikir (manacika), wanita Hindu dapat menghargai pendapat orang lain dan selalu berpikiran positif memandang segala sesuatu. Dalam lingkungan keluarga, misalnya  sosok wanita hendaknya mampu menghargai pendapat suami dan anak-anak. Selain itu bersedia menerima nasihat-nasihat suami. ''Tidak mengklaim bahwa pendapat sendirilah yang paling baik, tanpa mau mendengarkan pikiran orang lain,'' (tidak egois).

Dalam konteks berkata (wacika), wanita Hindu mesti satya wecana dan mampu memfungsikan bibir untuk berkata yang baik. Bukan membicarakan kejelekan orang lain (Bergosip di Pura), mencaci maki dan bahkan memfitnah.
Pada konteks berbuat (kayika), wanita Hindu harus mampu berbuat sesuai dengan ajaran agama. Kendati pengaruh global mengalir derasnya, wanita Hindu diharapkan tidak meninggalkan dan atau kehilangan jati diri.

Citra wanita Hindu, mempunyai citra yang mulia :
(1) sangat religius;
(2) punya etos kerja;
(3) sraddha bhakti;
(4) sebagai pendidik anak;
(5) punya keseimbangan kecerdasan (emosional, intelektual, spiritual). 

Jadi, banggalah Menjadi Wanita "Beragama Hindu" karena hanya di Hindu lah kita mengenal "Banyak Hal" yang tidak ditemukan dalam Ajaran Lain karena Hindu Veda (Weda) adalah Agama Yang Universal dan Ibu dari semua Sumber Pengetahuan sehingga di Hindu dijawab semuanya mulai dari filsafat Panca Sradha (5 keyakinan), Keseimbangan Alam, Jyotisha (ilmu perbintangan), Yoga (meditasi),  konsep Atom, Genetika , Yadnya (upacara), konsep Leluhur (Sanggah Rong Tiga) dan masih banyak lagi.

Keyakinan dalam agama Hindu dikenal dengan istilah Sradha. Ada lima keyakinan yang disebut Panca Sradha yang mendasari segala aspek kehidupan bagi umat Hindu.  
1 Brahman Keyakinan terhadap Tuhan
2 Atman Keyakinan terhadap Atman (Jiwa/Roh Tuhan)
3 Karmaphala Keyakinan terhadap hukum Karma (buah dari perbuatan)
4 Punarbhawa / Samsara Keyakinan terhadap penjelmaan kembali
5 Moksa Keyakinan terhadap bersatunya Atman dengan Brahman


BANGGALAH menjadi Wanita HINDU dan PERTAHANKANLAH karena agama adalah Hak Paling Hakiki (pribadi) dan tidak dipaksakan oleh apapun.

"Namaste.. "

Sumber : 
http://www.babadbali.com/canangsari/pa-panca-sradha.htm
http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1256&Itemid=120
http://narayanasmrti.com/
http://www.iloveblue.com/bali_gaul_funky/artikel_bali/detail/164.htm



Jumat, 05 Agustus 2011

Tuhan Ada dalam Setiap Makhluk Sebagai Kasih

Orang-orang menjalani berbagai kesulitan dan bekerja keras siang malam demi uang. 
Mereka bahkan diam-diam menipu atau menempuh berbagai cara yang tidak benar untuk mendapatkan uang. Rasa sombong1) dan penyimpangan mental2) mereka, membuat mereka semakin menderita. Selama dunia berada dalam keadaan yang buruk3) seperti itu, manusia tidak dapat menghindari penderitaan. Ia hanya dapat mencapai kedamaian dan kemakmuran bila ia menepati perkataannya, dan pikirannya penuh kebaikan hati. 
Manusia tidak bisa memperoleh penampakan Tuhan dengan pikiran yang resah dan penuh keraguan.(Puisi bahasa Telugu).

Perwujudan kasih ! 
Dewasa ini perhatian seluruh dunia berpusat pada uang. Dari siswa sampai penjual sayuran, setiap orang mengejar uang. Kita tidak dapat mengatakan secara pasti, siapa yang lebih menghasratkan uang, orang ini atau orang itu. Akan tetapi, setiap orang menganggap uang sebagai segala-galanya dalam hidupnya. Orang-orang bekerja keras dan menanggung berbagai kesulitan dengan senang hati demi mendapatkan uang, tetapi tidak ada yang menjalani kesulitan demi Tuhan.Tuhan melindungi semuanya. Mungkin seseorang mempunyai uang berapa pun banyaknya, tetapi hidup yang dilewatkan tanpa Tuhan itu tidak berharga. Namun, sedikit sekali orang yang mengutamakan Tuhan dalam hidupnya dan menyadari bahwa Tuhan adalah sumber serta pemelihara segala makhluk. Lebih sedikit lagi orang yang merenungkan Tuhan.

Tuhan Ada dalam Setiap Makhluk Sebagai Kasih Itulah sebabnya Aku menyarankan dilangsungkannya kidung suci (bhajan). Mungkin ada beberapa di antara para peserta yang pikirannya melantur pada waktu kidung suci berlangsung dan tidak melantunkan nama Tuhan dengan perasaan, lagu, dan irama yang semestinya. Mungkin bahkan ada beberapa orang yang menempuh jalan tidak benar setelah mereka ikut kidung suci. Akan tetapi, pada umumnya orang-orang akan berkonsentrasi kepada Tuhan bila mereka menyanyikan kemuliaan-Nya.Ada banyak jenis gelombang di lautan, tetapi air dalam semua gelombang itu sama. Demikian pula orang-orang mungkin mempunyai jenis pikiran yang berbeda, tetapi Tuhan yang sama ada dalam mereka semua. Ada banyak makhluk, tetapi prinsip atma dalam mereka semuanya sama.
Ekaatmaa sarva-bhuutaantaraatma. 

Artinya,‘Atma yang Maha Esa ada dalam semua makhluk’.

Ekam sat vipraah bahudhaa vadanti. 
Artinya,‘Kebenaran itu satu, tetapi kaum bijak menyebutnya dengan berbagai nama’.

Mereka yang mengikuti kebenaran ini ( dan menerapkan pengetahuan ini dalam kehidupan mereka sehari-hari ) sesungguhnya adalah bakta sejati.Intisari segenap Veda terletak pada pemantapan kebenaran ini ( dengan mempelajari dan berusaha menghayatinya ). Sayang, kini sedikit sekali orang yang memahaminya.Jangan pernah meninggalkan kebenaran. Bila kebenaran dan kebajikan menyatu, manusia akan menghayati kedamaian dan kasih. Kebenaran merupakan dasar untuk semua nilai kemanusiaan yang lain yaitu kebajikan (dharma ), kedamaian ( shaanti ), kasih ( prema ), dan tanpa kekerasan (ahimsa). Sesungguhnya kebenaran ( dalam pengertian kenyataan sejati atau kesadaran semesta, keterangan penerjemah ), adalah dasar segala sesuatu. Satyameva advitiiyam Brahma. Artinya, ‘kebenaran adalah Brahman Yang Maha Esa, tiada duanya’. Kebenaran mewujud dalam bentuk kasih.